Mempertimbangkan Kristologi Yesus Sebagai “Tete Manis” (Sikap Curiga Yang Mungkin Keliru)

Pengantar

Pertanyaan mengenai “siapakah Yesus” adalah pertanyaan yang penting sekali dijawab oleh setiap orang beriman. Tidak hanya bagi mereka yang mengajar pendidikan teologi secara formal di perguruan tinggi, tapi juga kaum awam (umat) atau bahkan kaum beriman lainnya (Islam, Hindu, Budha, dll). Mengapa? Sebab kita tidak bisa menampik sosok historis yang telah diakui ribuan tahun di segala tempat ini mendapat tempat yang “spesial” dalam hidup. Ia seakan seperti “sosok misterius” tetapi sekaligus nampak mampu memberi “kepastian hidup” di dalam-Nya.

Dalam Markus 8:29, Yesus sendirilah yang mengajukan pertanyaan itu kepada murid-murid-Nya. “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?”, yang dijawab oleh Petrus: “Engkau adalah Mesias”. Dalam teologi, bidang kristologi memiliki tugas yang terkesan sederhana itu: siapakah Yesus yang lahir, dan hidup pada waktu dan tempat tertentu itu. Bagi Nico Syukur Dister, Krsitologi adalah teologi tentang Kristus (1990: 21). Jelaslah bahwa kristologi menaruh perhatian khusus dan sebagai upaya menjelaskan pokok iman kristen tentang “sosok” yang satu ini. Bagi saya, pemahaman Yesus sebagai Kristus yang diimani itu mendapat tempatnya dalam kehidupan Yesus setelah kehidupannya yang historis. Sehingga Kristologi sejatinya harus memperlihatkan bahwa iman akan Kristus (Kristus kerygmatis) mempunyai akar dalam hidup Yesus dari Nazareth (Yesus yang historis).

Pertanyaan tenang “siapakah Yesus bagimu” tidak hanya dijawab murid-murid angkatan-angkatan pertama, tetapi juga setiap angkatan orang beriman dan setiap murid memberikan jawaban sesuai dengan kebutuhan dan konteksnya masing-masing. Bahkan gereja di sepanjang tempat dan masa akan terus bergumul dengan pertanyaan sederhana tersebut yang membutuhkan energi yang luar biasa untuk menjawabnya.

Saya masih ingat betul, selama mengikuti kuliah di kampus ini (baca: UKIM) khusus untuk mata kuliah Kristologi kami selalu ditantang untuk merumuskan siapa itu Yesus menurut kami. Bisa dibayangkan saja kalau setiap angkatan tetap disungguhkan dengan pertanyaan yang sama dan menjadi soal ujian akhir semester, maka bukankan sudah ratusan orang mahasiswa teologi berupaya untuk merumuskan siapa itu Yesus menurutnya. Bahkan teman-teman seangkatan saya (baca: 2002) pernah merumuskan Yesus sebagai anjing peliharaan atau bahkan Yesus sebagai keset kaki  saya sendiri bingung mengapa demikian, tapi mungkin mereka punya pertimbangan teologis tersendiri untuk menghubungkannya. Tulisan ini hanya sekedar memberikan catatan yang mungkin “keliru” mengenai gelar Yesus sebagai Tete Manis” yang akrab dikristologikan orang Maluku kepada sosok Yesus itu.

 Kristologi Yesus sebagai Tete Manis; Pertimbangan Yang Menggugat

Upaya merumuskan kristologi Yesus sebagai Tete Manis sudah memang sudah dikerjakan secara ilmiah dalam tesis magister yang dirampungkan oleh Pdt.V.Untailawan (dosen Teologi, UKIM yang juga Sekretaris Umum MPH Sinode GPM). Saya sendiri belum membaca tesis dimaksud – mungkin ada baiknya saya membacanya nanti – tetapi saya akan mencoba memahami kristologi ‘tete manis” saja menurut cara membahasanya orang Maluku. Sebab memang kristologi ini akrab sekali diungkapkan dan sering menjadi ucapan yang lazim kita dengar dalam perjumpaan kita sesehari.

Bagi orang Maluku, sebutan tete dikenakan kepada orang laki-laki yang merupakan ayah dari orang tua kita (ayah & ibu). Sebutan ini digunakan oleh cucu untuk menyapa ayah dari orang tuanya. Hampir di semua desa di Maluku, tete sangat dekat dengan cucunya. Hampir tidak ada tete yang tidak menunjukan sifat ini pada cucunya, bahkan setiap cucu pasti sangat dekat dengan tetenya ketimbang orang tuanya. Sangat mungkin kedekatan ini, berhubungan erat dengan perhatian dan kasih sayang yang diberikan lebih kepada cucu mereka, ketimbang orang tua kita sendiri. Disini ia dipahami sebagai seorang opa yang pada umumnya selalu baik terhadap cucu-cucunya, yang pada umumnya tidak pernah marah, malahan menjadi tempat berlindung kalau si cucu dimarahi oleh orang tuanya karena melakukan suatu kejahatan. Tete pun selalu memanjakan cucu-cucunya dengan berbagai hal, tanpa mempedulikan kalau perhatian lebih ini akan menyusahkan dirinya sendiri kelak misalnya. Pada titik ini saya sepakat, menghubungkan sifat tete yang di bilang manis ini (tete manis) dengan pribadi Yesus dari Nazareth itu. Tete yang penuh kasih sayang, pemaaf, tempat berlindung, perhatian, suka memanjakan cucu-cucunya agaknya menjadi sifat umum pada setiap tete yang kita miliki (kalau yang masih ada). Akan sangat mungkin rumusan kristologi Yesus sebagai tete manis bertumpuh pada sifat-sifatnya tersebut. Dengan menyebutnya demikian, maka sebagai gereja kita akan lebih mudah mengenal sosok Yesus yang “misterius” itu seakan dekat dengan kita dan berjumpa dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dengan menggambarkan Yesus demikian, seluruh orang Maluku (yang kristen) cukup mengenal-Nya secara kontekstual dengan bertumpuh pada cara membahasanya kita sendiri.

Dalam hubungan itu, ada beberapa pertimbangan dari kristologi tersebut, pertama, tete acapkali dipersepsikan sebagai mereka yang lemah dan tidak bisa bekerja lagi. Kondisi fisik yang lemah dan umur yang kian senja, menjadikan figur tete menjadi demikian. Ada pula yang hidup bergantung pada anak-anaknya, ataupun kalaupun masih bekerja, tidak sebisa atau sekuat dulu lagi. Ini tentu berbeda dengan figur Yesus walaupun Ia penuh kasih, perhatian, penyayang dan panjang sabar tetapi Ia adalah sosok yang aktif bekerja dan berkarya bersama manusia. Sifat Yesus, turut didukung oleh keaktifannya bekerja keras mendatangkan Kerajaan Allah bagi manusia pada zaman-Nya. Disini saya melihat, sifat tete dalam cara membahasanya orang Maluku dan dirumuskan dalam krisologi tidak berbanding lurus dengan hal yang fundamental dari gamabaran Yesus yang Historis itu. Sebab dibalik sifat yang penuh kasih, Ia menunjukan keaktifan karya Allah yang nyata dan tidak dalam bentuk sifat semata. Tete seakan tidak berdaya dihadapan cucu-cucunya ketika melakukan kesahalan, bahkan selalu memanjakan cucunya terus menerus; kedua, ketidakberdayaan tete terhadap perilaku cucu-cucunya menjadikan ia sebagai sosok yang lemah. Jika ini direlevansikan dengan Yesus, maka sangat bertolak belakang sekali. Sosok Yesus menjadi figur yang keras dan menentang berbagai tindakan yang salah dan siap mengambil segala resiko dari tindakan itu. Tuhan dalam Yesus bukanlah gambaran yang tidak berdaya dan lemah, tetapi gambaran yang kuat dan aktif bekerja melawan berbagai bentuk tindak kesalahan dan tidak pernah bertoleransi dengan kejahatan sedikitpun. Kristologi Yesus sebagai Tete manis seakan menjadikan Yesus sebagai figur yang tidak berdaya atas berbagai perilaku dan tindakan manusia; ketiga, sudah disebutkan sebelumnya bahwa kristologi yang sejati adalah aspek kerygmatis saat ini, harus berakar atau bertumpuh pada Yesus yang historis. Memaklumkan aspek pemberitaan dengan tidak menghormati akarnya adalah mungkin sikap yang kurang tepat. Kita membutuhkan keterpaduan yang betul-betul memperhatikan kedua aspek tersebut, kerygmatis dan historis.

Tinggalkan komentar

Filed under Kristologi

Tinggalkan komentar